Siapakah Abdul Malik bin Quraib al-Ashma'i?

Siapakah Abdul Malik bin Quraib al-Ashma'i?

Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma`i (Basra, 740-828)

>> sebagian lain mengatakan beliau lahir pada tahun 739-831.


Abdul Malik ialah seorang sufi sekaligus ilmuwan dalam bidang zoologi (dunia hewan), botani (dunia tumbuhan), dan ahli sastra. Buku karya Abdul Malik di antaranya adalah Kitab Ibil—tentang unta, Kitab Khayhl—tentang kuda, Kitab Wuhush—tentang hewan liar, Kitab Sha—tentang kambing, Kitab Kahlqal Insan—anatomi manusia.

Sementara itu, karya Abdul Malik yang begitu populer di kalangan luas adalah Kitab Al-Asmha`i atau Kitab An-Nabat wa Al-Shajar (Buku Tumbuh-tumbuhan dan Pohon). Kitab ini masih menjadi rujukan utama bagi para ilmuwan di Austria sampai abad 19 M. Menilik waktu yang cukup signifikan dari masa kehidupannya, tentu pencapaian tersebut menunjukkan kualitas seorang Abdul Malik bin Quraib Al-Asmha`i begitu besar sebagai ilmuwan, hingga kejeniusannya mendapat apresiasi baik di berbagai penjuru dunia.

Dalam Kitab Al-Asmha`i, beliau yang dikenal dengan sebutan Abu Said Al-Ashma`i ini, mengkaji berbagai ilmu tumbuh-tumbuhan dan mengenai obat-obatan yang diracik dari alam, atau yang sering disebut sebagai obat herbal, dan semua itu tercantum atau terkutip dalam Kitab Madinah Al-Ulum. Kemudian Kitab Al-Asmha`i disunting kembali oleh Haffner dan Louis Syeicho pada tahun 1908 di Beirut. Berikutnya, kembali disunting oleh Abdullah Yusuf Al-Ghunaim pada tahun 1947 di Kaherah.

Dalam perjalanan semasa hidupnya--pada masa Khalifah Abbasiyah, Abdul Malik dikenal sebagai orang yang begitu sederhana, dan juga teramat saleh, juga sangat jenius. Diceritakan, pernah suatu ketika, diadakan "Sayembara Syair" di tempatnya, dan beliau menyaksikan para penyair "minder" dengan Khalifah Abbasiyah, Abu Jafar al-Mansur, sebab para penyair mengatakan bahwa Abu Jafar begitu hebat dalam bersyair, sehingga membuat sebagian besar dari penyair pada masa itu merasa tidak layak membawaka syair-syairnya di depan publik. Karena hal ini, Abdul Malik merasa tergelitik untuk turun tangan langsung.

Abu Jafar yang kala itu mengklaim dapat menghapal hanya dengan satu kali mendengar syair dari syair orang, dianggap sebagai tipu muslihat oleh Abu Said al-Ashma`i ini. Beliau akhirnya menyamar diri, menutup wajahnya dengan sehelai kain agar tidak dikenali oleh Abu Jafar, lalu pergilah beliau menghampiri kerumunan, di tempat warga yang sedang menyaksikan kehebatan Abu Jafar itu.

Tiba di tempat itu, awal mulanya beliau ikut menyaksamakan "adegan" Abu Jafar yang sedang memamerkan kehebatannya serta anak-anaknya.

Abu Jafar berkata, "Tidak hanya aku saja, bahkan anak laki-lakiku ada di sisiku, menghapalnya...," sembari mengitari hadirin. Lalu ia berkata lagi, "Tak cukup di situ, anak perempuanku pun menghapalnya..."

Jadi, yang dimaksud dengan "menghapal" dari perkataan Abu Jafar itu adalah, anak-anaknya dapat menghapal seluruh syair yang didengungkan dalam dua kali mendengarkannya saja. Tentu yang demikian akan tampak hebat bagi para penyair kala itu. Namun bagi Abu Said al-Ashma`i, omongan Abu Jafar tidak lebih dari sekadar tipu muslihat belaka.

Selain berusaha memamerkan diri, Abu Jafar dianggap curang oleh Abu Said al-Ashma`i, karena "Sayembara Syair" itu telah merugikan para penyair lainnya: Abu Jafar menjanjikan akan memberi harta, atau imbal, bagi penyair yang menyairkan syair yang tak sekali pun pernah didengar oleh Abu jafar--sementara, fatwa bahwa Abu Jafar telah hapal seluruh syair membuat mereka tidak punya keberanian membawakan syairnya.

>> sebagai catatan, syair yang dimaksud adalah syair bertema kasidah, atau lirik yang dilantunkan dengan nada, seperti lagu.

Kemudian, Abu Said al-Ashma`i berucap pada Abu Jafar, "Sesungguhnya aku mempunyai syair (kasidah) yang ingin kulantunkan kepadamu, dan aku yakin kau belum pernah mendengar (sebelumnya)." Abu Jafar membalas, "Ucapkanlah..."

Abu Said al-Ashma`i segera melantunkan kasidahnya, sebuah kasidah yang telah dirancang sedemikian acak olehnya. Dan ternyata, syair (kasidah) itu memang belum pernah didengar atau diketahui oleh sang Khalifah Abu Jafar al-Mansur.

Maka, sesuai peraturan, Abu Jafar berkata, "Datangkan tulisanmu dan timbang, lalu kuganti dengan emas." Abu Said al-Ashma`i menjawab, "Aku mewarisi tiang marmer dari ayahku, dan aku menulisnya di situ, takkan bisa dibawa terkecuali oleh empat pasukan."

Agak terpaksa, tiang marmer itu pun dibawa--karena kalau tidak, sang Khalifah akan lebih malu dan disebut sebagai seorang pendusta.

Tak berapa lama, salah seorang Menteri Abbasiyah mengetahui siapa gerangan si penyair di balik cadar ini. Ia berkata kepada sang Khalifah Abu Jafar, "Wahai Khalifah, aku tak menduga-duganya selain Al-Ashma`i."

Setengah tak percaya, Abu Jafar kemudian memerintahnya untuk menyingkap cadar yang menutupi wajahnya itu, dan ternyata benar. Ia adalah Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma`i.

"Kau melakukan ini kepadaku?" tanya Abu Jafar, heran. Lalu dijawab oleh Abu Said al-Ashma`i, "Kau telah memutus rezeki para penyair dengan caramu itu..."

"Kembalikan harta itu padaku!" ucap Abu Jafar.

"Tidak!"

Percakapan itu terulang lagi, dan lagi. Pada akhirnya, Abu Said al-Ashma`i 'mengalah'. Ia berkata, "Tetapi dengan syarat, kau akan memberikan para penyair (rezeki) atas syair yang mereka buat."

Sang Khalifah mengakui kesalahannya, dan ia memberikan harta itu untuk penyair-penyair yang ada.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...